Kisah 25 Tahun Lalu, Ketika Mahasiswa Aktivis SIRA Diberondong dan Dilempari Granat

25 tahun lalu, dua aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) menjadi korban pemberondongan dan sasaran granat

Penulis: Muktar Lukfi | Editor: Yocerizal
Arsip Serambi Indonesia/Tribunnanggroe.Com/Muktar Lukfi
Dokumen berita berjudul: Mahasiswa Digranat dan Diberondong, yang dimuat Harian Serambi Indonesia, edisi jumat 25 Oktober 1999. 

Dari mobil itu, rinci Danrem, ditemukan sejumlah barang bukti berupa satu pistol FN-46 dengan lima butir peluru, 15 butir peluru M-16, dua STNK mobil masing-masing BL 8034-AE atas nama Kanwil Depag Aceh, STNK BL 475 AF atas nama PT Petrolindo Trantama.

Selain itu juga ditemukan satu STNK sepeda motor BL 4022- AN, atas nama Asengko, dua handy talky (HT) merek Motorolla, satu hand phone merek Ericsson, sebilah pedang panjang dan belati, dan dokumen lainnya.

"Kedua mayat itu adalah anggota GAM, mereka sengaja dibunuh di tempat itu oleh temannya sendiri," kata Danrem sambil menjelaskan beberapa alasan dugaannya.

Ketika ditanya tentang ditembaknya rombongan mahasiswa SIRA di lokasi yang tidak jauh dari temuan mayat, Danrem menyatakan tidak tahu.

"Saya tidak tahu apa kaitannya, antara penemuan mayat dengan tertembaknya mahasiswa tersebut," kata Danrem.

Menurut Danrem, mayat kedua lelaki itu bersama barang bukti yang ditemukan sengaja dibawa ke markas Batalyon, dan selanjutnya akan diserahkan kepada keluarganya di Pidie.

"Saya sudah hubungi Dandim Pidie, agar keluarga korban dihubungi untuk mengambil kedua mayat itu," kata Danrem.

Mengutuk

Pengurus Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEM) Unaya Aceh dalam siaran pers yang ditandatangani Sekretaris Umum Afrizala dan disampaikan kepada Serambi kemarin, mengutuk penembakan yang dilakukan terhadap mahasiswa.

"Kami mendesak supaya kejadian tersebut diusut secara tuntas," kata Afrizala.

Kutukan terhadap penembakan mahasiswa itu, juga datang dari FP-HAM yang disampaikan Direktur Executif Syaifuddin Bantasyam.

Menurutnya, penembakan terhadap relawan kemanusiaan itu merupakan bentuk perlawanan terbuka terhadap tugas-tugas membantu masyarakat yang tertindas.

Melihat urutan kejadiannya, kata Syaifuddin Bantasyam, kasus tersebut merupakan satu bentuk provokasi terencana untuk memancing kemarahan dari relawan, aktivis mahasiswa dan masyarakat luas untuk kemudian berlaku anarkis dan lantas dibasmi habis. Misalnya dengan pemberlakuan darurat militer.

"Ujung-ujungnya bisa mengarah ke situ," katanya.

Ia mengimbau agar relawan dan masyarakat untuk waspada terhadap pancingan-pancingan dari pihak tertentu.

"Kami tuntut agar pihak keamanan melakukan pengusutan resmi atas kejadian tersebut, dan dapat dimulai dengan memeriksa keadaan TKP, saksi- saksi dan jenis peluru yang ditembakkan. Termasuk jenis kendaraan yang digunakan pada malam itu,"

"Jika pengusutan tidak dilakukan, maka rasa tak percaya masyarakat kepada pihak keamanan semakin besar. Terlebih-lebih kejadian di Bakongan," katanya. (Arsip Serambi Indonesia/Tribun Nanggroe/Muktar Lukfi)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved