Polemik Bioskop, Budayawan Aceh Tantang Fadli Zon

Editor: Yocerizal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Budayawan Aceh, Davi Abdullah.

"Jika ingin berbicara tentang kebudayaan Aceh, seharusnya melihatnya dalam kerangka yang lebih luas dan bukan hanya sekedar menilai dari satu sisi saja,"

"Apalagi hanya berbicara tentang bioskop saja," tegas Davi Abdullah.

Davi melanjutkan bahwa setiap kebijakan yang hendak diterapkan di Aceh, harus menghormati hukum dan regulasi yang ada, termasuk qanun yang berlaku di daerah tersebut. 

"Jika Fadli Zon serius ingin membangun bioskop di Aceh, maka ia perlu memikirkan dengan bijak apakah hal itu sejalan dengan budaya dan identitas masyarakat Aceh,"

"Keluarkan Keputusan Menteri atau regulasi yang menjadi payung hukum bagi investor yang ingin membangun bioskop,"

Baca juga: Fadli Zon Tanggapi Kritikan Sineas Aceh terkait Sarannya Membuka Bioskop

"Dan jangan sampai kebijakan ini hanya menjadi alat untuk kepentingan politik atau ekonomi, tanpa memperhatikan keberagaman dan nilai-nilai yang ada di Aceh," tuturnya.

Davi Abdullah memberikan solusi terkait adanya bioskop alternatif yang ada di Aceh, seperti yang dilakukan oleh sejumlah komunitas yang menfasilitasi warga untuk menonton. 

Seperti bioskop-bioskop alternatif, pada tahun 2007, Philippine Independent Filmmakers’ Multipurpose Cooperative (IFC) berusaha bernegosisasi dan menciptakan ceruk dalam ruang mal multipleks melalui pendirian Indie Sine, sebuah layar yang didedikasikan untuk film-film alternatif. 

Bagi IFC, ini menjadi ruang publik yang ideal dalam menemukan penonton, walaupun berlawanan dengan intuisi. 

“Bioskop alternatif yang lebih berbasis komunitas, seperti yang dilakukan komunitas surah film, ada bioskop kampus, bisa menjadi jalan tengah untuk menikmati film berkualitas, tanpa harus mengorbankan identitas budaya dan agama yang ada di Aceh," ujarnya. 

Davi Abdullah berharap, pendekatan seperti ini dapat menjadi model bagi pengembangan ruang hiburan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Aceh.

Davi Abdullah memberikan gambaran seperti dalam jurnal yang berjudul Makna film bagi Masyarakat Aceh yang ditulis oleh Permana dkk (2019).

Jurnal tersebut menggambarkan pemaknaan film bagi masyarakat Aceh memiliki stereotip yang negatif dan dianggap memiliki pengaruh buruk dalam kebudayaan Islam yang beredar di masyarakat. 

Hal ini tercermin dari sajian film-film yang beredar secara komersial, yang cenderung tidak memenuhi norma keislaman yang dianggap tidak pantas dan menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan masyarakat.

Sehingga memberikan dampak enggannya investor dalam membangun bisnis bioskop di Kota Banda Aceh. Padahal, film merupakan cerminan apresiasi terhadap berbagai budaya dari belahan dunia. 

Baca juga: Eks GAM Bireuen Dukung Gugatan Mukmin ke MK

“Fadli Zon harus mencari jalan tengah dalam menjawab kebutuhan bioskop di Aceh, atau buat regulasi dan jangan dipertentangkan selalu dengan penerapan syariat Islam,"

"Yang patut dibicarakan oleh seorang Menteri itu arah kebijakan kebudayan untuk Aceh, bukan sekedar mengurus bioskop,"

"Yang mengurusi bioskop semestinya itu pebisnis bioskop, bukan seorang menteri,” pungkas Davi Abdullah.(*)