APIT AWE

Pilkada Sabang, Demokrasi yang Terpasung Kepentingan

Pilkada yang seharusnya menjadi wujud nyata dari kedaulatan rakyat berubah menjadi ajang permainan kekuasaan.

Editor: Yocerizal
Tribunnanggroe.com
KRITIK PILKADA DI SABANG - Riandi Armi, Wartawan di Kota Sabang dan juga tercatat sebagai anggota PWI Kota Sabang serta terlah terverifikasi oleh Dewan Pers. Riandi Armi mengkritik Pilkada Sabang yang menurutnya tersandera kepentingan. 

Oleh: Riandi Armi *)

DEMOKRASI dalam konsepsi idealnya adalah panggung dimana rakyat berbicara, menentukan masa depan mereka dengan suara yang bersih, tanpa tekanan, tanpa manipulasi. 

Namun, di Sabang, panggung itu telah dikotori oleh tangan-tangan yang seharusnya menjaga kemurniannya. Pilkada yang seharusnya menjadi wujud nyata dari kedaulatan rakyat berubah menjadi ajang permainan kekuasaan. 

Norma-norma etika yang seharusnya menjadi landasan moral dikangkangi demi kepentingan. Keadilan yang menjadi roh demokrasi justru dipermainkan oleh mereka yang merasa kebal hukum.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS 02, Gampong Paya Seunara, Kecamatan Sukamakmue, bukan hanya sekadar koreksi administratif. 

Tetapi juga cerminan dari penyakit yang sudah mengakar dalam sistem Pemilu di Sabang. Penyakit yang berulang, tumbuh subur karena lemahnya penegakan aturan, dan terus menjadi momok dalam setiap pesta demokrasi yang seharusnya menjadi kebanggaan rakyat.

Bagaimana mungkin kepercayaan rakyat dapat terbangun jika penyelenggara Pemilu sendiri tidak mampu berdiri di atas aturan? 

Bagaimana mungkin demokrasi bisa tumbuh jika pengawasnya sendiri terjebak dalam konflik kepentingan? 

Sampai kapan rakyat Sabang harus menyaksikan demokrasi yang dikendalikan oleh segelintir elite yang merasa kebal hukum?

Baca juga: Perjalanan Al-Farlaky, dari Aktivis menjadi Wartawan,  Dewan, dan Kini jadi Bupati Aceh Timur

Ketika Pengawas Pemilu Menjadi Pemain

Dalam sistem demokrasi yang sehat, Pengawas Pemilu memegang peran yang fundamental. 

Mereka adalah mata dan telinga rakyat, memastikan bahwa setiap suara dihitung dengan jujur, bahwa setiap langkah pemilu berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. 

Namun di Sabang, idealisme itu telah dikoyak oleh kepentingan pribadi.

Salah satu Komisioner Pengawas Pemilu diketahui masih merangkap jabatan sebagai pegawai non-ASN di Kantor Baitul Mal Kota Sabang. 

Tidak hanya itu, ia juga tetap menerima upah dari instansi tersebut, sebuah tindakan yang jelas melanggar asas independensi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang Pengawas Pemilu. 

Lebih dari sekadar pelanggaran etika, ini adalah bentuk nyata dari konflik kepentingan yang secara terang-terangan dipertontonkan di hadapan publik.

Yang lebih mencengangkan adalah betapa sulitnya menumbangkan individu ini dari posisinya. 

Perlindungan yang ia dapatkan bukanlah dari konstitusi, bukan pula dari etika demokrasi, tetapi dari hubungan kekeluargaan dengan seorang petinggi di salah satu institusi aparat hukum. 

Relasi ini menjadi tameng yang menjadikannya kebal dari konsekuensi, menciptakan sebuah ironi, dimana hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan, justru digunakan sebagai benteng perlindungan bagi mereka yang melanggarnya.

Baca juga: Islah, Langkah Positif Ketua DPRA dan Wakil Gubernur Menuju Aceh Maju Ta Meuseuraya

Lalu, bagaimana mungkin rakyat bisa mempercayai proses Pemilu jika mereka yang seharusnya menjaga netralitas justru bermain dalam pusaran kepentingan?

KPPS: Wajah Buram Penyelenggara Pemilu

Jika Pengawas Pemilu saja sudah cacat dalam integritasnya, maka jangan heran jika di tingkat bawah, Penyelenggara Pemilu pun berjalan tanpa arah. 

Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang memiliki tanggung jawab langsung dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, justru menjadi sumber dari berbagai pelanggaran yang membuat Pilkada Sabang ternoda.

Pelanggaran yang terjadi di TPS 02, Gampong Paya Seunara, bukan sekadar kesalahan teknis. Ini adalah indikasi dari sebuah sistem yang rusak, di mana profesionalisme petugas KPPS dipertanyakan. 

Tidak ada pelatihan yang cukup, tidak ada mekanisme pengawasan yang efektif, dan yang lebih parah, tidak ada rasa tanggung jawab yang benar-benar melekat pada mereka yang diberi amanah untuk menjaga suara rakyat.

Keputusan MK untuk memerintahkan PSU bukanlah kali pertama dalam sejarah Pilkada Sabang. Ini adalah fenomena yang berulang, sebuah siklus kesalahan yang terus terjadi karena tidak adanya perbaikan sistematis. 

Lemahnya pengawasan dari KIP membuat pelanggaran ini terus berulang tanpa ada konsekuensi yang berarti bagi para pelakunya.

Jika PSU terus terjadi, apakah itu berarti kesalahan selalu ada di tangan rakyat? Atau justru ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di balik layar?

Baca juga: VIDEO - Viral Detik-detik Gibran Tepis Tangan Paspampres yang Cegah Kakek Pegang Pundak Wapres

Sabang, sebagai bagian dari Indonesia yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi, seharusnya menjadi contoh bagaimana Pemilu berjalan dengan baik. 

Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa demokrasi di kota ini masih terpasung oleh kepentingan.

Setiap lima tahun, rakyat diminta untuk memilih. Setiap lima tahun, mereka dijanjikan bahwa Pemilu kali ini akan lebih baik dari sebelumnya. 

Tetapi pada akhirnya, mereka tetap melihat permainan yang sama: pengawas yang tidak independen, penyelenggara yang tidak profesional, dan elite yang terus-menerus berusaha mempertahankan kuasa mereka dengan segala cara.

Bagaimana mungkin rakyat bisa percaya pada demokrasi jika mereka yang menjalankannya justru tidak memiliki integritas?
 
Sampai Kapan Demokrasi Dipermainkan?

Pilkada bukan sekadar ritual lima tahunan. Ia adalah simbol dari kedaulatan rakyat, sebuah mekanisme yang menentukan arah masa depan sebuah daerah. 

Namun, ketika mekanisme itu dirusak dari dalam, maka yang terjadi bukanlah demokrasi, melainkan oligarki yang terselubung dalam wajah demokrasi.

Sampai kapan rakyat Sabang harus terus menjadi saksi dari pemilu yang penuh dengan kecurangan? 

Sampai kapan PSU akan terus menjadi bagian dari rutinitas Pilkada? 

Sampai kapan mereka yang merasa kebal hukum akan terus merajalela, tanpa ada konsekuensi yang menghentikan mereka?

Baca juga: Terkait Barcode BBM, Forum Komunikasi Doktor Minta Pusat Hormati Kekhususan Aceh

Pemilu yang adil bukanlah utopia. Ia adalah sesuatu yang bisa dicapai jika ada kesungguhan untuk menegakkan aturan. 

Tetapi selama aturan hanya menjadi formalitas, selama hukum hanya berpihak pada mereka yang memiliki kuasa, maka demokrasi di Sabang hanya akan menjadi ilusi yang semakin lama semakin pudar.

Dan pertanyaan terbesar yang harus dijawab oleh para pemimpin dan rakyat Sabang adalah: Apakah kita akan terus membiarkan demokrasi ini mati perlahan? Ataukah kita akan bangkit untuk merebut kembali suara rakyat yang sesungguhnya?(*)

*) PENULIS merupakan Wartawan di Kota Sabang dan juga tercatat sebagai Anggota PWI Kota Sabang serta telah terverifikasi oleh Dewan Pers.

APIT AWE adalah rubrik opini pembaca TribunNanggroe.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved