APIT AWE
Pilkada Sabang, Demokrasi yang Terpasung Kepentingan
Pilkada yang seharusnya menjadi wujud nyata dari kedaulatan rakyat berubah menjadi ajang permainan kekuasaan.
Lebih dari sekadar pelanggaran etika, ini adalah bentuk nyata dari konflik kepentingan yang secara terang-terangan dipertontonkan di hadapan publik.
Yang lebih mencengangkan adalah betapa sulitnya menumbangkan individu ini dari posisinya.
Perlindungan yang ia dapatkan bukanlah dari konstitusi, bukan pula dari etika demokrasi, tetapi dari hubungan kekeluargaan dengan seorang petinggi di salah satu institusi aparat hukum.
Relasi ini menjadi tameng yang menjadikannya kebal dari konsekuensi, menciptakan sebuah ironi, dimana hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan, justru digunakan sebagai benteng perlindungan bagi mereka yang melanggarnya.
Baca juga: Islah, Langkah Positif Ketua DPRA dan Wakil Gubernur Menuju Aceh Maju Ta Meuseuraya
Lalu, bagaimana mungkin rakyat bisa mempercayai proses Pemilu jika mereka yang seharusnya menjaga netralitas justru bermain dalam pusaran kepentingan?
KPPS: Wajah Buram Penyelenggara Pemilu
Jika Pengawas Pemilu saja sudah cacat dalam integritasnya, maka jangan heran jika di tingkat bawah, Penyelenggara Pemilu pun berjalan tanpa arah.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang memiliki tanggung jawab langsung dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, justru menjadi sumber dari berbagai pelanggaran yang membuat Pilkada Sabang ternoda.
Pelanggaran yang terjadi di TPS 02, Gampong Paya Seunara, bukan sekadar kesalahan teknis. Ini adalah indikasi dari sebuah sistem yang rusak, di mana profesionalisme petugas KPPS dipertanyakan.
Tidak ada pelatihan yang cukup, tidak ada mekanisme pengawasan yang efektif, dan yang lebih parah, tidak ada rasa tanggung jawab yang benar-benar melekat pada mereka yang diberi amanah untuk menjaga suara rakyat.
Keputusan MK untuk memerintahkan PSU bukanlah kali pertama dalam sejarah Pilkada Sabang. Ini adalah fenomena yang berulang, sebuah siklus kesalahan yang terus terjadi karena tidak adanya perbaikan sistematis.
Lemahnya pengawasan dari KIP membuat pelanggaran ini terus berulang tanpa ada konsekuensi yang berarti bagi para pelakunya.
Jika PSU terus terjadi, apakah itu berarti kesalahan selalu ada di tangan rakyat? Atau justru ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di balik layar?
Baca juga: VIDEO - Viral Detik-detik Gibran Tepis Tangan Paspampres yang Cegah Kakek Pegang Pundak Wapres
Sabang, sebagai bagian dari Indonesia yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi, seharusnya menjadi contoh bagaimana Pemilu berjalan dengan baik.
Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa demokrasi di kota ini masih terpasung oleh kepentingan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.